Jangan Malu Jadi Petani
Waktu itu saya dalam perjalanan dari Jogya ke Jakarta naik pesawat.
Karena keberangkatan pesawat ditunda 1 jam saya menunggu di in HB kafetaria bandara Adisucipto sekedar minum kopi.
Karena keberangkatan pesawat ditunda 1 jam saya menunggu di in HB kafetaria bandara Adisucipto sekedar minum kopi.
Di depan saya duduk seorang ibu sudah agak tua, memakai
pakaian Jawa tradisional kain batik dan kebaya, wajahnya tampak tenang
dan keibuan.
Sekedar mengisi waktu, saya mengajaknya bercakap-cakap.
"Badhe tindak Jakarta, Bu". (mau pergi ke Jkt, bu ?)
"Inggih nak, namung transit ing Cengkareng lajeng dhateng Singapura."
(Iya nak, hanya transit di cengkareng terus ke Singapura)
"Inggih nak, namung transit ing Cengkareng lajeng dhateng Singapura."
(Iya nak, hanya transit di cengkareng terus ke Singapura)
"Menawi kepareng nyuwun pirsa, kagungan perlu menapa ibu tindak Singapura ?"
(Kalau boleh, mau bertanya, ada keperluan apa ibu pergi ke Singapura ?)
(Kalau boleh, mau bertanya, ada keperluan apa ibu pergi ke Singapura ?)
"Tuwi anak kula ingkang nomer kalih Nak. Semahipun
nglairaken wonten ngrika lajeng kula dipun kintuni tiket lan dipun
urusaken paspor langkung Biro Perjalanan. Dados kula kantun mangkat
boten sisah repot ngurus menapa-menapa".
(Menengok anak saya yang nomor dua nak, istrinya melahirkan di sana terus saya diberi tiket dan diuruskan paspor melalui biro perjalanan. Jadi saya tinggal berangkat tanpa susah mengurus apa-apa)
"Ingkang putra ngasta wonten pundi Bu ?"
(Puteranya kerja dimana, bu ?)
"Anak kula menika Insinyur Perminyakan, nyambut damel wonten Perusahaan Minyak Asing, samenika dados Kepala Kantor Cabang Singapura."
(Anak saya ini insinyur perminyakan, kerja di perusahaan minyak asing, sekarang jadi kepala kantor cabang Singapura)
(Puteranya kerja dimana, bu ?)
"Anak kula menika Insinyur Perminyakan, nyambut damel wonten Perusahaan Minyak Asing, samenika dados Kepala Kantor Cabang Singapura."
(Anak saya ini insinyur perminyakan, kerja di perusahaan minyak asing, sekarang jadi kepala kantor cabang Singapura)
"Putra sedaya pinten, Bu ?"
(Berapa anak ibu semuanya?)
"Anak kula sekawan Nak, jaler tiga, estri setunggal. Menika wau anak kula nomer kalih. Ingkang nomer tiga ugi jaler, Dosen Fakultas Ekonomi Gadjah Mada, samenika saweg mendhet Program Doktor wonten Amerika. Ingkang ragil estri, dados dokter spesialis. Anak, semahipun ugi dokter Ahli Bedah lan dosen wonten Fakultas Kedokteran Airlangga Surabaya."
(Berapa anak ibu semuanya?)
"Anak kula sekawan Nak, jaler tiga, estri setunggal. Menika wau anak kula nomer kalih. Ingkang nomer tiga ugi jaler, Dosen Fakultas Ekonomi Gadjah Mada, samenika saweg mendhet Program Doktor wonten Amerika. Ingkang ragil estri, dados dokter spesialis. Anak, semahipun ugi dokter Ahli Bedah lan dosen wonten Fakultas Kedokteran Airlangga Surabaya."
(Anak saya ada 4 nak, 3 laki2, 1 perempuan. Yang ini tadi anak nomer 2. Yang nomer 3 juga laki2, dosen fakultas ekonomi UGM, sekarang lagi ambil program doktor di Amerika. Yang bungsu perempuan jadi dokter spesialis anak. Suaminya juga dokter, ahli bedah dan dosen di universitas Airlangga Surabaya)
"Menawi putra mbajeng.?"
(Kalau anak sulung?)
(Kalau anak sulung?)
"Piyambakipun tani, Nak. Manggen ing Godean nggarap sabin tilaranipun swargi bapakipun".
(Dia petani, Nak. Tinggal di Godean, menggarap sawah warisan almarhum bapaknya).
(Dia petani, Nak. Tinggal di Godean, menggarap sawah warisan almarhum bapaknya).
Saya tertegun sejenak lalu dengan hati-hati saya bertanya ;
"Temtunipun Ibu kuciwa kaliyan putra mbajeng nggih Bu. Kok boten sarjana kados rayi-rayinipun."
(Tentunya ibu kecewa kepada anak sulung ya bu. Kok tidak sarjana spt adik-adiknya).
(Tentunya ibu kecewa kepada anak sulung ya bu. Kok tidak sarjana spt adik-adiknya).
"Babarpisan boten,Nak. Kita sedaya malah ngurmati
piyambakipun. Kanthi kasil saking sawahipun, piyambakipun ngragadi
gesang kita sakulawarga lan nyekolahaken rayi-rayinipun sedaya ngantos
rampung sarjana".
(Sama sekali tidak, nak. Malahan kami sekeluarga semuanya hormat kepada dia. Dari hasil sawahnya dia membiayai hidup kami dan menyekolahkan semua adik-adiknya sampai selesai jadi sarjana)
(Sama sekali tidak, nak. Malahan kami sekeluarga semuanya hormat kepada dia. Dari hasil sawahnya dia membiayai hidup kami dan menyekolahkan semua adik-adiknya sampai selesai jadi sarjana)
Saya merenung :
"Ternyata yang penting bukan Apa atau Siapa kita, tetapi apa yang telah kita perbuat".
"Ternyata yang penting bukan Apa atau Siapa kita, tetapi apa yang telah kita perbuat".
Tuhan tidak akan menilai apa dan siapa kita tetapi apa "amal-ibadah" kita.
Tanpa terasa air mata mengalir di pipiku...
Catatan :
Mohon maaf untuk yang tidak mengerti bahasa Jawa, dialog dalam kisah diatas saya tulis apa adanya.
Mohon maaf untuk yang tidak mengerti bahasa Jawa, dialog dalam kisah diatas saya tulis apa adanya.
*) Cerita Prof Dr Ravik Karsidi
Comments